Bab 743
Cakra menunduk dan melirik Nindi
sekilas, tetapi tidak membongkar kebohongannya.
Raut wajah Nindi tetap datar, seraya
menatap mereka dengan dingin.
Darren nyaris tak sanggup berdiri
tegak, lalu berkata putus asa, "Jadi, dia benar-benar masih hidup. Lalu
siapa sebenarnya sopir yang tewas dalam kecelakaan waktu itu?"
"Korban pengganti. Kecelakaan
itu sudah dirancang sejak mereka menerima sogokan dari keluarga Morris."
Nindi sebenarnya sudah berhasil
merangkai potongan-potongan kebenaran tentang kecelakaan mobil waktu itu.
Demi memperebutkan Proyek Energi
Baru, keluarga Morris menyuap sopir yang kecanduan judi, lalu menciptakan
kecelakaan itu.
Mungkin sopirnya sendiri tak ingin
mati. Itu sebabnya dia diam-diam menugaskan orang lain untuk menggantikannya di
balik kemudi.
Setelah mendengar semua itu, Darren
langsung teringat pada petunjuk yang pernah dia temukan, " Jadi ...
keluarga Morris memang berniat merebut Proyek Energi Baru itu dari ayah dan
ibu, ya?"
"Sepertinya kau juga sudah tahu,
ya. Itu memang benar. Hari itu bahkan keluarga Morris langsung pesta buat
merayakan proyek itu. Pada malam itu juga ayah dan ibu kecelakaan sampai
meninggal!"
Akhirnya, keluarga Morris benar-benar
memenangkan proyek itu. Usaha keluarga mereka pun semakin berkembang pesat,
menjelma menjadi salah satu keluarga terpandang di Yunaria.
Darren jatuh terduduk di lantai, lalu
berteriak keras, "Di mana sopir itu? Aku akan membunuhnya!"
Andai saja sopir itu tidak disuap,
ayah dan ibunya pasti tak akan mati.
Tatapan Nindi tetap dingin,
"Masih ada banyak hal yang harus kita selidiki lebih jauh. Aku juga nggak akan
biarkan keluarga Morris lolos begitu saja. Mereka harus membayar atas apa yang
sudah mereka lakukan!"
Dia menoleh ke Darren, "Tapi
kamu ... kamu malah membesarkan putri musuhmu sendiri. Bagaimana perasaanmu
sekarang?"
"Jangan katakan lagi, jangan
katakan lagi!"
Darren merasa hatinya tercabik-cabik.
Dia begitu menderita.
Dia telah membawa anak yang membunuh
orang tuanya masuk ke dalam keluarga Lesmana, bahkan memperlakukan Sania dengan
penuh kasih sayang!
Darren dipenuhi amarah hingga
pengelihatannya menggelap. Dia bahkan tak sanggup berdiri tegak.
Nando buru-buru menopangnya, lalu
menengadah memandang Nindi dengan mata yang memerah, " Nindi, kami
benar-benar menyadari kesalahan kami. Kami nggak berniat begitu."
Tak berniat?
Nindi tertawa sinis, "Dari kecil
sampai sekarang, bukankah kalian selalu bilang begitu? Sania itu pantas
diperlakukan istimewa karena ayahnya meninggal demi menyelamatkan ayah dan ibu.
Karena itu kalian memperlakukanku seperti ini, ' kan?"
"Jangan bicara lagi. Kumohon ...
jangan lanjutkan!"
Mata Darren dipenuhi urat merah
menyala, "Nindi, serahkan ayah Sania padaku!"
"Ngapain harus kuserahkan
padamu?"
"Karena aku bunuh dia buat balas
kematian ayah dan ibu!"
Saat ini, Darren benar-benar dikuasai
amarah. Dia telah dipermainkan habis-habisan oleh seorang sopir, bagaimana
mungkin dia bisa dia mentolerir kejadian ini?
Nindi bersedekap di depan dada,
seraya berkata tegas, "Kalau begitu, berlutut dan minta maaflah. Mungkin
aku bisa mempertimbangkan permintaanmu."
Darren mendongak menatap Nindi dengan
penuh amarah.
Sementara Nindi, dia tetap tenang,
seolah tidak sedikit pun merasa takut.
Darren melihat Cakra berdiri di
samping Nindi. Akhirnya, dia menunduk, lalu perlahan-lahan menekuk lutut untuk
bersujud.
Nando segera menahannya, "Kak,
kamu benar-benar mau berlutut?"
Darren tetap menunduk, tanpa sepatah
kata pun.
Nando pun memandang Nindi,
"Nindi, bagaimanapun juga dia adalah kakak tertua kita! Haruskah kamu
menghinanya sejauh ini? Sekarang kita seharusnya bersatu melawan musuh!"
"Bersatu melawan musuh?
Seenaknya saja kalau ngomong. Kalau bukan karena aku, kalian pasti sudah habis
dipermainkan. Sania hampir membuat keluarga bangkrut, tapi kalian bahkan nggak
tahu apa yang sedang terjadi!"
Nindi menatap Darren tajam,
"Bukankah kamu selalu menyebut dirimu kepala keluarga? Coba lihat semua
keputusan bodoh yang kamu buat. Benar -benar menyedihkan!"
Darren begitu marah hingga
memuntahkan darah, tubuhnya kemudian limbung ke lantai.
Darren tetap menatap Nindi sambil
terbaring lemah, dengan perasaan yang rumit.
Ada rasa bersalah, juga penyesalan.
Dia benar-benar menyesalinya.
Nindi berdiri di samping, menatap
pria yang tergeletak di lantai dengan begitu menyedihkan, lalu berkata,
"Sedikit pun aku nggak merasa kamu perlu dikasihani. Semua ini memang
pantas kamu terima."
Darren menahan nyeri di dadanya
sambil terbatuk hebat, hingga tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
Nando memeluk Darren dengan hati
penuh simpati, lalu menoleh ke arah Nindi sambil berseru, "Semua ini
karena kakak nggak tahu kebenarannya! Kami juga korban. Kamu nggak seharusnya
sekeras ini?"
"Itu karena kesombongan dan
egonya, jadi dia terus -menerus dibutakan oleh Sania. Aku nggak percaya kalian
sama sekali nggak lihat ada yang janggal pada Sania! Tapi karena dia pandai
mengambil hati kalian, kalian memilih pura-pura nggak tahu."
No comments: