Bab 744
Nindi menatap Nando dengan dingin,
"Kalau saja kalian bisa lebih cepat lihat siapa Sania sebenarnya, bukankah
kalian juga bisa menyadari ada yang janggal pada dirinya sejak awal?"
Nando merasa dadanya sesak,
sampai-sampai sulit bernapas.
Ya, Nindi memang benar.
Dia langsung berlutut ke tanah,
"Ya, ini semua salahku. Salah kami semua, oke? Sekarang kamu lihat
sendiri, kami seperti orang bodoh yang menyesal setengah mati. Apa sekarang
kamu sudah puas??
Mata Nindi mulai memerah.
Dadanya terasa sesak hingga sulit
bernapas.
Dia menengadah menatap langit,
menahan air matanya agar tidak jatuh. Kemudian, dia kembali memandang mereka
dan berkata, "Nggak cukup."
Karena di kehidupan sebelumnya, dia
meninggal dengan tragis akibat semua ini.
Bisa ditebak, di masa lalu. Sania dan
ayahnya bersekongkol untuk menipu dan mempermalukan keluarga Lesmana
habis-habisan, seakan mereka begitu dungu.
Namun, di kehidupan ini, Nindi telah
berjuang untuk mengungkap semuanya.
Nando berkata dengan terisak,
"Lalu ... harus bagaimana lagi agar kamu bisa memaafkan kami?"
Bibir merah Nindi berkata sengit,
"Nggak akan pernah."
Dia bersumpah tidak akan pernah
memaafkan mereka.
Setelah berkata demikian, Nindi pun
pergi bersama Cakra.
Nando menatap punggung Nindi,
"Nindi, bagaimanapun juga kami tetap satu-satunya keluargamu. Hal itu
nggak akan pernah berubah!"
Namun, Nindi tak menoleh sedikit pun.
Nando langsung terduduk di tanah
dengan penuh keputusasaan, "Kak, sekarang kita harus bagaimana?"
Awalnya, sesuai operasi, dia berpikir
bisa hidup bersama Nindi dengan baik. Nindi pun akan perlahan -lahan mengubah
pandangannya pada keluarga Lesmana.
Akan tetapi, siapa sangka hal
sepenting ini bisa hancur berantakan seketika.
Dia benar-benar tak memiliki
persiapan!
Sementara itu, Darren masih
tergeletak di tanah sambil menatap pekatnya langit malam. Darah bahkan masih
menetes di sudut bibirnya.
Hatinya terasa hampa. Dia bahkan tak
tahu harus melakukan apa.
Mengapa hidup harus mempermainkannya
seperti ini?
Mengapa?
Di dalam mobil, Nindi duduk di kursi
penumpang depan tanpa bicara sedikit pun.
Cakra menyetir tanpa bersuara. Musik
lembut mengalun di dalam mobil, memberi ruang bagi Nindi untuk mencerna
emosinya sendiri.
Angin dari jendela yang terbuka
meniup wajah Nindi. Setelah cukup lama terdiam, akhirnya dia berbicara,
"Aku barusan membohongi mereka."
"Aku tahu."
"Aku sengaja melakukannya. Aku
mau lihat mereka menderita, menyesal. Biar tahu seperti apa rasanya."
Selama ini, Nindi hanya bisa menahan
diri.
Dia ingin melihat ekspresi mereka
saat mengetahui kebenarannya!
Meskipun ayah Sania belum tertangkap
sampai sekarang, Nindi tahu dia sudah tak sanggup menunggu lebih lama lagi.
Cakra berkata menenangkan,
"Mereka pantas mendapatkannya."
"Ya, memang pantas!"
Nindi menyeka sudut matanya yang
basah, "Tapi ... entah kenapa sekarang aku nggak sebahagia yang
kubayangkan dulu."
Padahal, secara logika, dia baru saja
membalas dan mempermalukan mereka habis-habisan. Akan tetapi, entah mengapa,
hatinya terasa sedikit pilu.
Mobil yang dikemudikan Cakra berhenti
di lampu merah. Dia menggenggam tangan Nindi dan merasakan bahwa telapak
tangannya benar-benar dingin.
Cakra pun berkata dengan penuh rasa
sayang, " 11 Karena dendam... semakin kita tenggelam di dalamnya, semakin
jauh kita dari kebahagiaan."
Kehangatan perlahan menjalar dari ke
tangan Nindi.
Nindi menahan gemetar bibirnya,
"Tapi aku harus balas dendam, Cakra. Sopir itu, juga keluarga Morris
mereka harus membayar semuanya!"
Jika tidak, atas dasar apa dia bisa
bahagia?
Cakra menggenggam tangannya lebih
erat lagi, seolah tak ingin melepaskannya. Dia menatap Nindi serius, lalu
berkata, "Sebenarnya ... ada sesuatu yang sudah lama ingin aku bilang
padamu."
Nindi pun menoleh, 'Tentang
apa?" tanya Nindi dalam hati.
No comments: