Bab 745
Saat itu, lampu lalu lintas berubah
hijau, suara klakson dari mobil belakang pun terdengar nyaring.
Cakra tersentak sadar, lalu buru-buru
melajukan mobilnya.
Nindi sempat melirik ke arahnya,
tetapi ponselnya tiba-tiba berdering saat hendak bertanya.
Dia segera mengangkat telepon itu dan
langsung mengaktifkan mode pengeras suara, "Nona Mia, ada
perkembangan?"
"Kami baru saja menemukan kalau
uang yang ditransfer Sania tiba-tiba menghilang."
"Menghilang? Bagaimana
maksudnya?"
Hati Nindi langsung terasa berat.
"Apa ayah Sania yang memindahkan dana itu?"
"Sekarang masih belum pasti.
Kami sudah kirim orang buat melacak keberadaan uangnya."
Mia sendiri tak menyangka bahwa di
saat seperti ini masih ada orang yang sempat mencari keberadaan uangnya.
Suara Cakra terdengar dingin dan
tajam, "Kalian ini kerjanya apa, sih? Hal sekecil ini bahkan bisa
luput?"
"Maaf, Pak Cakra. Ini memang
salah kami. Kami kira karena orangnya kabur, maka dia pasti berniat sembunyi.
Nggak disangka, ternyata dia cukup nekat untuk memindahkan uangnya."
Mia berkata dengan tegang, jelas
menyadari kesalahan mereka.
Cakra menggeram dingin, "Cari!
Bagaimana pun caranya, aku mau orang itu ditemukan!"
"Baik."
Mia kemudian mengakhiri panggilan.
Nindi menatap layar ponselnya
sejenak, lalu berkata, "Kita ke apartemenku. Aku mau cari sendiri.
Jika orang itu memindahkan uangnya,
pasti ada jejak yang tertinggal.
Cakra menginjak pedal gas, mobil pun
melaju kencang menuju apartemen yang pernah dibeli Nindi.
Begitu masuk, Nindi melepas sepatunya
dan langsung berlari ke ruang kerja dengan kaki telanjang, lalu menyalakan
komputer.
Dia juga menelepon Mia,
"Singkronkan data buatku. 12
"Segera dilakukan."
Nindi menatap layar sembari jemarinya
menari cepat di atas papan ketik.
Setelah mengganti sepatu, Cakra masuk
ke ruang kerja sambil membawa sepasang sandal. Dia membungkuk dan
memasangkannya pada kaki Nindi.
Nindi terlalu fokus menatap komputer,
hingga tidak menyadari apa pun yang terjadi di sekelilingnya.
Cakra memperhatikan gerak-geriknya,
lalu berbalik dan menelepon seseorang. Dia selalu merasa bahwa kasus ini
tidaklah sederhana.
Pasti ada sesuatu yang tidak beres
dalam kasus ini.
Benarkah ayah Sania sehebat itu? Bisa
menghilang begitu saja dan tetap sempat memindahkan uang?
Nindi duduk di depan komputer selama
berjam-jam, hampir tiada berhenti. Akhirnya, dia berhasil menelusuri jejak uang
itu hingga ke pasar gelap.
Uang itu ternyata telah dipisah-pisah
dan diambil secara terpisah.
Jika uang yang dialirkan ke rekening
air seperti itu, sangat sulit dilacak, apalagi ditarik kembali.
Mustahil juga menemukan siapa di
baliknya hanya dari rekening-rekening tersebut.
"Istirahatlah sebentar."
Cakra meletakkan segelas air di
sampingnya, " Orang itu jelas sudah merencanakan semuanya sejak
awal."
"Aku Cuma nggak habis pikir...
kenapa ayah Sania tega mengorbankan sepupu sendiri? Apa dia nggak takut
rahasianya terbongkar?"
"Itu juga yang membuatku
curiga."
"Tapi kita sudah punya orangnya,
jadi kita punya celah buat menekan mereka."
"Benar juga, montir itu punya
hubungan cukup dekat dengan Nyonya Belinda. Beberapa waktu lalu, dia sempat
menemuinya. Aku cuma nggak tahu mereka bicara soal apa."
Nindi mengatupkan bibir. "Tapi
nggak lama lagi, Nyonya Belinda pasti tahu montir itu bermasalah."
Itu berarti, pihak lawan akan sadar
bahwa Nindi sudah mengetahui keberadaan mereka.
Setelah ini, akan semakin sulit
mendapatkan bukti apa pun.
"Itu sebabnya kita harus gerak
duluan. Kita harus pancing reaksinya."
Nindi mengangguk. Baru saat itu dia
menyadari sudah memakai sandal, entah sejak kapan.
Hatinya terasa hangat karena tahu
pasti Cakra yang memakaikannya.
Begitu matanya bertemu dengan tatapan
tenangnya, air mata pun menggenang di pelupuk matanya. Bagaimana mungkin dia
bisa menahan perasaan terhadap pria ini?
"Kamu kenapa?"
Cakra melihat matanya yang
berkaca-kaca, lalu refleks mengambil tisu. Namun, sebelum dia sempat
menyentuhnya, Nindi sudah lebih dulu memeluknya erat, mencengkeram baju di
dadanya.
Nindi memeluk pria itu erat-erat,
memejamkan mata seolah ingin mengosongkan pikirannya.
Tangan Cakra sempat tergantung di
udara, tetapi akhirnya perlahan turun dan menepuk lembut bahunya.
"Lapar, nggak?"
No comments: