Bab 748
Darren kini benar-benar kacau. Dia
menutup wajahnya dengan kedua tangan dan tak sanggup menatap Nando.
Saat ini, dia begitu menderita.
Nindi memang benar. Mulai sekarang,
setiap menit dan detiknya akan terasa seperti siksaan tiada henti.
Rasa sakit dan penyesalan itu akan
terus menekan hatinya.
Hukuman ini baru saja dimulai!
Nindi benar-benar kejam!
Di sisi lain.
Setelah menutup telepon, Nindi
menyantap sarapannya, lalu langsung menuju kampus.
Dia berjalan menuju gedung
perkuliahan. Galuh sudah lebih dulu membantunya mencari tempat duduk.
Begitu Nindi duduk, Galuh berbisik
pelan, " Bagaimana semalam?"
"Lumayan lancar, nanti saja
ceritanya."
Nindi tak mau banyak bicara di ruang
kelas, takut ada yang mendengar lalu menyebarkannya.
Galuh pun paham. Jadi dia tak
bertanya lebih jauh. Semalam, dia dan Yanisha juga tidak bisa tidur nyenyak.
Mereka khawatir dengan keadaan Nindi, tetapi tak berani mengirim pesan agar
tidak mengganggunya.
Saat pelajaran berlangsung, Nindi
menerima pesan dari Cakra, "Aku akan jemput kamu setelah kelas"
"Mau ke mana?"
"Lebih baik bertindak lebih dulu."
Nindi langsung mengerti maksud Cakra
setelah membaca kata-kata itu.
Semalam mereka telah melakukan banyak
hal.
Belinda pasti segera menerima kabar
tentang semua itu. Itu sebabnya, mereka harus bertindak lebih cepat.
Hanya saja, Nindi tak menyangka Cakra
sudah mengatur semuanya secepat ini.
Nindi pun membalas "Oke"
lalu mulai memikirkan kira-kira apa yang telah direncanakan Cakra selanjutnya.
Setelah beberapa saat memikirkannya,
dia masih saja tak bisa menebak rencana Cakra.
Saat bel pelajaran berbunyi, Nindi
berkemas dan bangkit, "Tolong bawakan barang-barangku ke asrama. Aku ada
urusan, nanti kalau ada perlu, aku kabari lewat grup."
"Oke, hati-hati, ya."
Dia tahu apa yang sedang dilakukan
Nindi. Meski tak bisa membantu banyak, setidaknya dia berharap Nindi akan
baik-baik saja.
Nindi mengangguk. Saat ini, bagaimana
pun caranya, dia harus menyelidiki kebenaran di balik kecelakaan bertahun-tahun
lalu itu.
Nindi melangkah keluar dari ruang
kelas. Tanpa diduga, dia berpapasan dengan beberapa mahasiswa dari fakultas
bisnis.
Serena langsung berteriak, "Wah,
akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga! Semalam, di rumah keluarga Lesmana
ada pesta pernikahan yang heboh banget, lho. Ada video si pengantin perempuan
tidur dengan kepala pelayan! Benar-benar sensasional!"
Nindi mendengar ucapan itu, tetapi
wajahnya sama sekali tak menunjukkan reaksi.
Galuh kemudian menimpali sinis,
"Sania emang pantas dapat itu semua. Dia memang perempuan murahan!"
Saat itu, Yanuar melangkah maju
dengan muram. Namun, Nindi segera menahannya dan berkata dingin, "Mau
ngapain kamu?"
"Nindi, apa yang dibilang Serena
itu benar?"
Yanuar terlihat sangat terpuruk.
Matanya merah dan sembab. Dia tak pernah menyangka Sania benar-benar akan
menikah dengan Witan. Lantas, Sania anggap apa dirinya?
Nindi menatapnya dengan senyum penuh
ironi, "Itu tergantung bagian mana yang kamu maksud. Kalau soal pesta
semalam, itu benar. Dan soal video itu itu juga benar."
Yanuar nyaris tak mampu berdiri tegak
setelah mendengarnya. Wajahnya memucat, lalu dia pergi dengan amarah yang
menyesakkan dada.
Serena tertawa terbahak-bahak,
"Nindi, keluarga Lesmana ternyata nggak sebaik yang dikira. Sekarang
reputasi mereka sudah jadi bahan tertawaan. Nama baik keluargamu benar-benar
sudah rusak."
Nindi tetap tanpa ekspresi. Baginya,
nama baik keluarga Lesmana bukanlah hal penting.
Jika dia peduli, tentu takkan tega
untuk menayangkan video itu di pesta semalam.
Dia hendak pergi, tetapi Serena
kembali menghadang langkahnya, "Tunggu dulu. Kamu kan sekarang jadi pusat
perhatian. Cerita dong, habis itu ada kejadian apa lagi? Sania benar-benar
dipukuli Kak Witan sampai-sampai kami nggak bisa menghubunyinya, ya?"
Tatapan Serena penuh dengan niat
jahat.
Saat itu juga, ponselnya berdering.
Dia pun mengangkat dengan santai. Namun, tiba-tiba wajahnya berubah drastis,
"Apa? Ibuku hilang?"
No comments: