Bangkit dari Luka ~ Bab 749

Bab 749

 

Begitu mendengar ucapan Serena, Nindi langsung menoleh dengan sorot penuh selidik.

 

Hatinya tak bisa menahan untuk sebuah dugaan..... mungkinkah ini ada kaitannya dengan Cakra?

 

Namun, Nindi menjaga raut wajahnya tetap tenang. Tentu saja, hal seperti ini bukan sesuatu yang bisa dibicarakan sembarangan.

 

Serena masih bicara di telepon, suaranya mulai bergetar dan terdengar seperti hendak menangis. Jelas dia ketakutan.

 

Nindi hanya menatapnya sinis ketika melihat raut paniknya Ternyata orang-orang keluarga Morris juga bisa mengerti rasanya kehilangan keluarga, ya.

 

Namun, bukankah dulu keluarga Morris yang merencanakan kecelakaan itu? Kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya?

 

"Nindi, ngapain kamu lihat-lihat? Ibuku pasti baik-baik saja! Dia itu sahabat dekat Nyonya Riska. Jadi, keluarga Julian pasti akan bantu mencarinya!"

 

Serena tak ingin terlihat lemah di hadapan Nindi, itu sebabnya dia mengatupkan rahangnya, memaksakan ekspresi galak.

 

Nindi menjawab dengan datar, "Kamu yakin mau buang-buang waktu di sini?"

 

"Nindi, jangan senang dulu. Ibuku pasti nggak apa-apa."

 

Serena memang cemas setengah mati, karena itu dia tak punya waktu untuk berdebat. Dia pun berbalik dan pergi dengan langkah terburu-buru.

 

Nindi menatap punggung Serena yang menjauh dengan tatapan semakin muram.

 

Galuh berbisik, "Ini memang pantas, 'kan? Keluarga Morris kan memang suka cari gara-gara. Bisa jadi mereka nyakitin orang yang salah, jadi sekarang kena batunya."

 

"Jangan ngomong sembarangan. Kalau Serena dengar, kamu bisa jadi sasaran."

 

Nindi tak mau Galuh ikut terseret masalah.

 

Serena memang dari awal sudah tak suka padanya. Jika tahu Galuh ikut mencibir, pasti akan ada balasan nanti.

 

Galuh buru-buru mengangguk, "Iya, aku mengerti. Lain kali aku akan lebih hati-hati."

 

"Kalau begitu, aku pergi dulu."

 

Nindi tak berkata apa-apa lagi dan langsung melangkah keluar dari lingkungan kampus. Dia kemudian melihat mobil Cakra sudah menunggu di pinggir jalan.

 

Dia pun bergegas mendekat dan masuk ke dalam mobil.

 

"Buat kamu."

 

Cakra menyerahkan sebuah kantong kecil yang cantik, dengan beberapa kue mungil di dalamnya.

 

Nindi meliriknya, "Kamu kok sempat -sempatnya beli ini?"

 

Jika dihitung dari pesan terakhir Cakra pagi tadi, berarti dia sudah keluar rumah sejak sangat pagi.

 

"Asalkan ada kemauan, kapan saja juga pasti ada waktu, 'kan?"

 

Ternyata, saat melewati toko kue kesukaan Nindi, Cakra melihat ada produk baru. Dia pun menyuruh sopir berhenti sebentar untuk membelikannya.

 

Dia ingat betul bahwa Nindi suka makan ini.

 

Nindi pernah berkata bahwa makan yang manis bisa membuat suasana hati menjadi lebih baik.

 

Nindi mencium aroma manis kue di tangannya. Hatinya pun terasa jauh lebih ringan. Dia lalu membuka kantongnya, mencicipi sedikit, lalu menatap bungkusnya yang cantik.

 

"Nggak enak, ya?"

 

Cakra menoleh ke arahnya, lalu menatap kue di tangan Nindi.

 

Nindi tersenyum, "Mau coba?"

 

Saat dia hendak mengambil satu lagi untuk diberikan pada Cakra, pria itu justru langsung menunduk dan menggigit kue yang masih ada di tangannya.

 

Nindi mematung dibuatnya, ujung jarinya sempat menyentuh bibir Cakra yang terasa dingin, membuat jantungnya terasa berdebar-debar.

 

Cakra mengunyah, lalu berkomentar, "Manis sekali, nggak terlalu cocok di lidahku."

 

"Kalau menurutku sih masih enak."

 

Nindi menyodorkan sebotol air. Dia tahu Cakra memang tak begitu suka makanan manis.

 

Kue ini terlalu manis, sudah pasti bukan seleranya.

 

Cakra meneguk beberapa kali hingga rasa manisnya hilang sambil mengeryit. Dia menatap Nindi dan bergumam, "Enak? Kamu kelihatan seperti dipaksa minum obat, lho."

 

"Nggak, kok. Aku cuma suka lihat kantongnya."

 

Sebenarnya, bukannya Nindi merasa kue itu tak enak.

 

Akan tetapi, yang membuat hatinya tak tenang adalah ... meski sesibuk itu, Cakra masih ingat untuk membelikannya hal kecil seperti ini.

 

Dia akhirnya bertanya, "Menyerang duluan yang kamu maksud itu apa?"

 

"Nanti juga kamu lihat sendiri."

 

Nindi mengangguk, lalu berkata lagi, "Barusan Serena dapat telepon dari rumah. Dia bilang ibunya hilang."

 

Cakra memicingkan matanya, "Sepertinya kamu sudah menebaknya."

 

"Kamu nggak takut ibumu tahu soal ini? Katanya mereka berdua sahabat dekat, bahkan sudah berteman sejak dulu."

 

Bab Lengkap

Bangkit dari Luka ~ Bab 749 Bangkit dari Luka ~ Bab 749 Reviewed by Novel Terjemahan Indonesia on June 14, 2025 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.