Bab 750
Tatapan Cakra menyiratkan ejekan,
"Bisa dibilang dia itu itu sahabat yang licik."
Jika insiden di masa lalu itu
benar-benar ulah keluarga Morris.
Maka keberadaan Cakra di dalam mobil
itu menunjukkan adanya sesuatu yang janggal.
Namun, Cakra belum bisa mengatakannya
sekarang.
Nindi mengalihkan topik, "Kamu
yakin bisa lihat semua ini tanpa ketahuan? Apalagi ini memang melanggar
hukum."
"Dia nggak akan berani lapor
polisi."
"Tapi, keluarga Morris bisa saja
lapor, 'kan?"
Cakra menoleh dan menatapnya dengan
tenang, " Semuanya bakal jelas setelah dia pulang."
"Kok kamu seyakin ini?"
"Semuanya sudah diatur."
Cakra tak ingin membahas terlalu
banyak. Dia enggan merusak bayangan dirinya di mata Nindi.
Ini adalah pekerjaan kotor. Dia tak
ingin menodai mata, apalagi tangan Nindi.
Karena itu, sejak semalam, Cakra
sudah mengatur segalanya, hingga berangkat pagi-pagi buta.
Nindi tak perlu melakukan berbagai
hal berbahaya ini, justru Cakra yang akan langsung membawa semua ini ke
hadapannya.
Nindi menyadari sorot muram Cakra.
Dia pun menundukkan tatapannya, berusaha menyembunyikan kekalutan hatinya.
Setelah itu, mereka tak banyak bicara
lagi.
Mobil berhenti di sebuah tempat
parkir bawah tanah. Lalu, mereka berganti mobil dan melanjutkan perjalanan.
Akhirnya, mereka sampai di depan
sebuah gedung yang menjulang tinggi.
Nindi memandang tempat yang
samar-samar terasa familiar itu.
Riska pernah mengundangnya untuk
perawatan kecantikan sebelumnya. Itu sebabnya dia merasa pernah ke sini.
Cakra menggandengnya masuk lewat
pintu belakang salon. Mereka pun melewati beberapa lorong kecil dan menuju satu
ruangan.
Mia sudah menunggu di sana. Dia
langsung memberi laporan begitu melihat Nindi, "Orangnya sudah dibawa
masuk. Ruangannya juga sudah disiapkan, kapan mau mulai?"
Nindi melirik Cakra, "Mulai
apa?"
"Tanya semua yang kamu mau
tahu."
"Bagaimana caranya? Kamu terlalu
mencurigakan, nanti dia curiga."
Cakra menggenggam tangannya,
"Kita bakal pura-pura jadi penjahat yang terlibat dalam kecelakaan dulu.
Sekarang kita culik Nyonya Belinda dan minta uang tebusan. Kalau nggak, kita
akan bongkar semua aib lama mereka."
Nindi berpikir sekilas, lalu
mengangguk, "Oke."
"Orang kita sudah diatur masuk.
Kamu tinggal bilang mau tanya apa biar mereka lakukan."
Nindi melihat Belinda diculik ke
dalam ruangan kecil yang gelap dan lembap, sama sekali tak terlihat seperti
bangunan komersial.
Dia melihat seorang pria bertubuh
kekar masuk, dengan tato di tubuhnya, juga topeng hitam yang menutupi sebagian
besar wajahnya.
Sosok itu mendekat dan menyentuh
wajah Belinda, yang membuat wanita itu langsung menjerit panik, " Ka...
kamu siapa? Kalau mau uang ... aku bisa kasih!"
"Dasar wanita sialan. Kalau saja
dulu kamu langsung bayar, apa aku harus hidup bersembunyi selama ini?
"Apa maksudmu? Aku nggak ngerti
apa yang kamu katakan!"
Belinda mulai merasa ada yang aneh
dari ucapan si pria.
"Lupa, ya? Dulu keluarga Morris
suruh kami beresin pesaing kalian, bahkan membuat mobil mereka kecelakaan! Kami
sudah selesaikan tugas, tapi kamu malah nggak bayar!"
Belinda tersentak, seakan baru
teringat sesuatu, lalu buru-buru berkata, "Aku sudah bayar!"
"Omong kosong! Kami nggak terima
sepeser pun uangnya."
"Aku benar-benar sudah kasih
uangnya! Waktu itu aku kasih uangnya ke Bos Sammy!"
Belinda merasa tertindas. Bagaimana
mungkin dia tak membayarnya? Perkara semacam ini pasti dibayar, mana mungkin
tidak!
Nindi mendekat ke jendela kaca
pembatas, kemudian melirik Cakra, "Apa Bos Sammy itu ayahnya Sania?"
"Benar, itu panggilan buat ayahnya."
Nindi mengerucutkan bibirnya sambil
menatap belinda, "Terus tanya lebih jauh."
Pria bertopeng itu menampar pelan
pipi Belinda, " Bos Sammy bilang kamu nggak bayar penuh. Gara-gara itu aku
harus kabur semalaman, bahkan bertahun-tahun hidup susah dan nggak bisa pulang!
11
"Sudah pasti Bos Sammy yang
makan uangnya!"
Wajah Belinda tampak merah padam.
Bagaimana orang dungu ini menggelapkan uang sebanyak itu?
Nindi mengambil alat komunikasi,
"Tanya dia, di mana sekarang Bos Sammy berada."
Belinda sudah pasti tahu jawabannya.
No comments: